Sabtu, 12 Desember 2009

agar bisa memberi hanya yang terbaik

Miris rasanya saat melihat seorang penumpang kereta yang karena merubah tujuan akhir perjalanannya, membayarkan selisih tarif dengan harga tiket yang dibeli, pada petugas di atas kereta. Bukan diberi tanda bayar pengganti tiket, malah petugas langsung pergi dengan mengantongi uang tersebut.

Dalam hati aku mencoba berkhusnudzon, mungkin saja petugas itu mau cepat-cepat lapor pada kondektur. Dan berharap semoga uang yang nilai rupiahny sedikit itu mempunyai 'nilai' lebih berupa kesadaran, kejujuran, dan kerelaan yang kini sudah mulai mahal.

Tapi tak dapat kupungkiri, setelah sekian waktu petugas itu tak juga kembali membawa bukti pembayaran, pikiran negatif urun meramaikan otakku. Betapa menggemaskan bila kenyataannya uang tadi benar-benar masuk kantong pribadi.

Seandainya dibawa pulang dan dibelanjakan untuk memberi makan keluarganya bukankah itu menjadi suatu kesalahan? Makanan setelah melalui proses pencernaan akan diserap pada vili usus halus kemudian dibawa oleh darah menuju hati sebelum diedarkan ke seluruh tubuh. Padahal hati adalah raja, yang mempengaruhi baik-buruk seseorang. Sehingga agar menjadi baik, harus diperhatikan betul makanan kita. Tidak cukup syarat makro dan mikronutrien kandungannya saja, tapi asal dan sumber perolehan juga menjadi poin yang tak boleh luput. Termasuk dari mana dan bagaimana mendapatkan alat tukarnya, semua harus jelas baik.

Pun bila tidak untuk makan, uang tentu akan dibelikan barang. Entah dipakai sendiri atau diberikan pada orang lain. Nah, bukankah lebih mantap dan lebih puas bila bisa memiliki atau memberi yang asalnya dari jerih payah usaha sendiri?

Sama halnya dengan apa yang kita lakukan saat ini, pada masa-masa kita belajar. Kebanyakan orang meyakini, kuliah merupakan modal kerja. Bahkan biayanya dihitung sebagai investasi. Kalau demikian berarti ketidak baikan dalam proses belajar kita berarti ketidak baikan pula dalam harta yang kita peroleh saat bekerja nanti.

Maka ke'lurusan' selama belajar pun mestinya dihitung juga. Karena bagaimana mungkin kita bisa mendapat keuntungan (= penghasilan) yang baik bila modal awalnya saja kurang sip? Maka, sekarang kita harus lebih jeli. Segala yang kita lakukan mesti lebih hati-hati, dan secara jujur terus menjawab pertanyaan evaluasi 'sudah benarkah' kelakuan kita? Supaya terus terjaga 'bersih' langkah-langkah kita, sehingga kelak bisa memberi dan memiliki hanya dari yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar