Jumat, 29 Agustus 2014

Cerita tahu: dari antri hingga terdiskriminasi

Beberapa hari yang lalu saya berbelanja ke pasar. Lumayanlah, itung-itung biar ada aktifitas fisik, ngiteri pasar sembari jinjing belanjaan. Disamping jenis pilihan sayurannya lebih banyak ketimbang di mamang sayur. Singkat cerita, sampailah saya di depan ibu-ibu penjual tahu. Tampaknya ibu penjual baru sibuk, makanya saya tunggu. Pas si ibu penjual sudah beres, segera saya pesan. Mendadak ada ibu-ibu lain, dari penampilannya saya tebak dia juga penjual, mungkin jualan ikan, masih dipakainya celemek dan sepatu boot karet. Ibu penjual tahu langsung sigap membungkus tahu0tahu,, eh,, eh,, lha kok jenis tahunya bukan seperti tahu yang saya pesan tadi ya??

Ternyata,, ibu penjual tahu mendahulukan ibu penjual ikan,, well,, baiklah,, mungkin memang sudah langganan. Atau meman sudah teman akrab, biasa lah,, sama temen, mintanya diduluin,,

Belum selesai dengan ibu penjual ikan, tiba-tiba dateng ibu-ibu muda yang super rapih dengan suara yang cukup kenceng memesan tahu, ga tanggung-tanggung, nilainya 5 kali lipat dari yang saya pesan. Dan tanpa diduga ibu penjual tahu mendahulukannya,,

Ah,, kayaknya sepele ya,, perkara tahu doang,, tapi sungguh,, saya sebel,,,
Apa karena nominal belanjaan saya ga sebesar ibu yang baru dateng? Ato karena penampilan saya yang seadanya, ga se-oke ibu itu?

Ah sudahlah,,
satu sisi saya sebel terhadap ibu penjual yang tidak memperhatikan urutan, disisi lain saya juga sama ibu-ibu yang suka nyerobot..

Mungkin budaya ngantri saat ini teramat mahal ya,, terkadang kita ga cukup tau diri, kalo ngerasa datang belakangan ya harusnya siap dilayani belakangan kan ya?